A. PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang NU (Nahdatul Ulama) tanpa K.H. Hasyim
Asy'ari adalah bentuk pencurian terang-terangan tanpa malu. Hal ini disebabkan
karena salah satu pendiri utama lahirnya organisasi NU pada tahun 1926 adalah
K. H. Hasyim Asy'ari.
Ketokohan K. H. Hasyim Asy’ari sering
kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa
sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk
merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih
organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif
melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi,
K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan
pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim
Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang
mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]
Siapa sebenarnya K. H. Hasyim Asy'ari? Anak-anak muda
jaman sekarang ini mumgkin tidak begitu mengenal sosok beliau,
apalagi
sumbangsinya terhadap agama Islam dan bangsa Indonesia. Ketidaktahuan ini yang
mungkin menjadikan ada berita yang berkembang bahwa beliau adalah tokoh
perintis kemerdekaan yang kolot, tradisional, tertutup, hanya berjuang untuk
NU, dan tidak mau menerima perubahan.
Oleh karena itu, makalah ini akan memperkenalkan secara
sederhana siapa beliau, bagaimana pergolakan pemikiran dan perjuangan
nasionalismenya, dan bagaimana ruh pandangan dan perjuangan beliau selama
hidupnya, baik ketika beliau masih belajar, mendirikan pesantren Tebuireng dan mendirikan
NU.
B. BIOGRAFI SINGKAT K. H. HASYIM ASY’ARI
1. Kelahiran
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah
Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di
daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H.
bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]
Asal-usul dan keturunan K. H. Hasyim Asy’ari
tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit
dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana diterangkan
oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah
kakeknya yang kedua yiait Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI
adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa
lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]
Bakat
kepemimpinan dan kecerdasan
Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan
teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat
temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya
senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[4]
2. Masa Pendidikan
Sejak kecil, beliau belajar langsung dari ayah dan kakeknya, Kiai
Utsman. Bakat kepemimpinan dan kecerdasan memang sudah nampak, ketika masih
kecil, beliau sangat giat dan cerdas. Hasilnya saat beliau masih beumur 13
tahun, sang ayah menyuruhnya mengajar di pesantren karena kepandaian yang
dimilikinya.[5]
Ketidakpuasan
dan dahaga yang sangat terhadap ilmu membuat beliau berkeinginan mencari sumber
pengetahuan yang lain di luar pesantren ayahnya. Oleh sebab itu, mulai asia 15
tahun, beliau mulai berkenalan dari satu pesantren ke pesantren lain, mulai
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban),
dan Pesantren Trenggilis (Semarang). Belum puas dengan berbagai ilmu, beliau
melanjutkan ke Pesantren Kademangan (Bangkalan) di bawah asuhan Kiai Kholil.
Namun tidak lama kemudian, beliau pindah ke Pesantren Siwalan (Sidoarjo) yang
diasuh oleh Kiai Ya’kub. Disinilah beliau merasa benar-benar menemukan sumber
pengetahuan Islam yang diinginkan.
Dari sekian
pesantren yang pernah dijelajahinya, disinilah beliau mondok cukup lama, yaitu lima tahun. Namun rupanya
Kiai Ya’kub kagum kepada beliau, sehingga beliau tiadak hanya mendapatkan ilmu
saja, akan tetapi juga dijadikan menantu oleh Kiai Ya’kub. Beliau yang baru
berusia 21 tahun dinikahkan dengan Chadijah, salah satu putri Kiai Ya’kub.[6]
Setelah menikah,
K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji dan menetap
7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang
pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan.
Pada tahun
1893, beliau kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya. Sejak itulah beliau
menetapdi Mekkah selama 7 tahun. Di Mekkah beliau berguru kepada Syaikh Ahmad
Khatib dan Syaikh Mahfud At-Tarmisi. [7]
Selain kedua
guru tersebut, sebenarnya K. H. Hasyim Asy’ari juga berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi.
Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.[8]
Pada tahun
1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di
tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat
menjadi terkenal di wilayah Jawa.[9]
3. Wafat
K. H. Hasyim
Asy’ari wafat pada tanggal 26 Juli 1947 M/7 Ramadhan 1366 H di Tebuireng,
Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh
waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan. Demikian perjalanan dan perjuangan K.H. Hasyim
Asy’ari sampai akhir hayatnya. Meskipun beliau telah tiada, akan tetapi ruh
perjuangan beliau masih dipegang oleh keluarga dan umat beliau untuk
menandaskan diri bahwa hidup adalah perjuagan.[10]
C. PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
1. K. H. Hasyim Asy’ari dan Tebuireng
Tepat pada
tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan
keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun
kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[11]
Pesantren
Tebuireng yang pada awalnya adalah pesantren kecil, kemudian berkembang
menjadai salah satu pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa. Kebanyakan para
santri tertarik dengan sistem atau model pengajaran yang diberikan oleh beliau.[12]
Dalam pesantren
itu, bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para
santri membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.[13]
Sistem pengajaran
yang diterpkan pesantren Tebuireng sejak berdirinya (1899) sampai tahun 1916
adalah dengan menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Kedua
sistem tersebut digunakan sebagai metode utama dalam mentransformasikan
ilmu-ilmu agama kepada
anak didiknya.
Pada tahun 1916-1919, kurikulum
madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu),
matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran
bahasa Belanda dan sejarah Indonesia.[14]
Sebagaimana
diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa,
peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di
lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama
pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang
berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil
didikan kiai Hasyim.[15]
2. Pemikiran Pendidikan
Salah satu karya monumental K. H.
Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff
Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada
tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah
pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak
menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits
ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[16]
Belajar menurut Hasyim Asy’ari
merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan
untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat
manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan
norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam
harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[17]
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan
adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang
harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya
berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal
duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam
mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di
atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah
satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah “niat yang baik dan lurus”.[18]
Catatan yang menarik dan perlu
dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan
hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan
beliau.[19]
3. Karya K. H. Hasyim Asy’ari
Karya-karya
Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika
masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan
tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya
Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah
Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim
juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul
Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai
Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan
banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum
wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim
juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz,
doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan
keadilan, dan lain-lain.[20]
Sebagai
seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang
berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur
yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal
adalah sebagai berikut: (1) Adab
Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid
Al-Mursalin, (6) Hasyiyah
‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya
Al-Anshari, (7) Al-Durr
Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan,
(9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah,
(10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib
min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin
merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai
disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari
menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas
tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan
pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus
memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[21]
D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari
tentang Sosial
Aktivitas K.
H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi
Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd
Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[22]
Tanggal 31
Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin
besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim
Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa
pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena
dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak
terbukti, beliau dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan
melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Sejak didirikan
sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim
Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman
pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.[23]
Mengenai
orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi
oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfud At-Tarmisi yang banyak menganut
tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, beliau pun mengenal
ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui
pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian
Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui
hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan
Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama
besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang
ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang
membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul
Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum
Nadhatul Ulama (1926-1947).[24]
Nahdatul
Ulama didirikan antara lain memang untuk mempertahankan paham bermazhab.
Sesudah Indonesia merdeka melalui pidato-pidatonya, K. H. Hasyim Asy’ari
membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk
mempertahankan kemerdekaan.[25]
KH Hasyim
Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki
perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak
kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha
yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan
berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah
Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut
Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut
berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[26]
Pada tahun
1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan
pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang
kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
Pada tahun
1937, ketika beberapa Ormas Islam membentuk badan federasi partai dan
perhimpunan Islam Indonesiayang terkenal dengan sebutan MIAI, (Majelis Islam
Ala Indonesia), K. H. Hasyim Asy’ari diminta jadi ketuanya.[27]
Ketika
organisasi sosial keagamaan MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum.
Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari,
yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh
wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, beliau diakui sebagai
seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa beliau bukan saja
tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.[28]
E. KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari
dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat
sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui
dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim
Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Mengajar
merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak
masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang
baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar.
Sepulang dari Mekkah, beliau membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya.
Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang.
Peranan kiai
Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin
pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang
organisasi keagamaan, beliau pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan
kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik
Belanda.
Dan pada
tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat.
Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, beliau diakui sebagai seorang
pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa beliau bukan saja tokoh utama
agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi
Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia
Islam, Cet IV, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 1997).
Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, (Jakarta, PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve: 2005).
Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: Departemen Agama, 1993), hal. 138-139.
Ensiklopedia Islam, Departemen
Pendidikan Nasional, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 2003).
Mirza, “Pemikiran Hasyim
Asyari Dalam Konsep Pendidikan” dalam http://daengamier.blogspot.com/2011/01/pemikiran-hasyim-asyari-dalam-konsep.html
Mujib, A., dkk., Entelektualisme
Pesantren, (Jakarta, PT. Diva Pustaka: 2004).
Nuril M Nasir Alumnus
Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan,Madura,dalam:httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm
Rifai, Muhammad, K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, (Yogjakarta, Grasi: 2009).
Roziqin, Badiatul, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta, e-Nusantara: 2009).
[1] A. Mujib, dkk., Entelektualisme Pesantren, (Jakarta: PT.
Diva Pustaka, 2004), hal. 319.
[2]Ibid, hal. 319.
[3]Muhammad Rifai, K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, (Yogjakarta: Grasi, 2009),
hal. 15.
[4]Ibid, hal. 19.
[5]Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hal. 246.
[6]
Muhammad Rifai, K.H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947,
hal 22-23.
[7]
Badiatul Roziqin, dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, hal. 246-247.
[8]
Muhammad Rifai,
K.H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, hal. 23.
[9]A. Mujib, dkk, Entelektualisme
Pesantren, hal. 320
[10]
Muhammad Rifai,
K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, hal. 34.
[11] A. Mujib, dkk, Entelektualisme Pesantren, hal.
320
[12]Muhammad Rifai, K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, hal. 44.
[13]Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia, hal.
247.
[14]
Muhammad Rifai,
K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, hal.46
[15] Ensiklopedia Islam, Departemen
Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hal. 309.
[16] Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005), hal. 218.
[17]
Muhammad Rifai, K. H. Hasyim Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947,
hal. 76-77.
[18]
Mirza, “Pemikiran Hasyim Asyari Dalam Konsep Pendidikan” dalam http://daengamier.blogspot.com/2011/01/pemikiran-hasyim-asyari-dalam-konsep.html
[19] Ibid,
[20]
Ibid,
[21] A. Mujib, dkk, Entelektualisme
Pesantren, hal. 321.
[22] Ibid, hal. 320.
[23] Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Departemen
Agama, 1993), hal. 138-139.
[24] Ensiklopedia Islam, hal. 309.
[25]
Badiatul Roziqin, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, hal. 250.
[26]Nuril M Nasir Alumnus Ma’had
al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura,dalam:httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm
[27]
Ibid, hal. 249.
[28]Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, Cet IV, (Jakarta:PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve: 1997), hal. 102.
Halo Bossku Semua .. SALAM HOKI Selalu ya !
BalasHapusDapatkan Bonus Spesial NATAL dari Om Santa BOLA VITA
Bonus s/d 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)
Hanya BO LA VI TA yang memberikan bonus-bonus menarik tiap hari!
Yuk Gabung Sekarang! Pendaftaran Gratis Loh!
WA : 0813-7705-5002 ~
Atau Hubungi Kesini Ya Boss :
BBM: B O L A V I T A (tanpa spasi)
WeChat: BOLA VITA (tanpa spasi)
Line : cs_bola vita (tanpa spasi) ~