BAB I
PENDAHULUAN
Islam
adalah Agama yang yang menempatkan pendidikan pada posisi yang sangat vital.
Disamping itu pesan-pesan Al-Quran
dalam hubungannya dengan pendidikan dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan
surat dengan berbagai ungkapan dan pernyataan. Lebih khusus lagi kata ‘ilmi digunakan
paling dominan dalam Al-Quran
untuk menunjukan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.
Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang seiring denga tumbuh dan berkembangnya
Islam. Pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri.
Sejarah
pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam.
Periodesassi
pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara
garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode.
Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.
Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muḥammad
Ṣalallahu ‘alaihi wa sallam (571-632 M), periode Khulafā ar-Rasyidin
(632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan ‘Abbāshiyyah
(750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad
(1250-sekarang).[1]
Sehubungan
dengan hal tersebut,
maka dalam makalah yang sederhana ini penulis mencoba untuk memaparkan tentang pola pendidikan Islam pada
masa Bani Umayyah. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
wawasan pengetahuan kita semua khususnya tentang sejarah pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Umayyah
Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Mu'āwiyyah bin Abī Sufyān pada tahun 41 H/661 M. Tahun ini
disebut dengan 'Aam al-Jamā'ah karena pada tahun ini semua umat Islam
sepakat atas ke-khalifahan Mu'āwiyyah dengan gelar Amir al-Mu'minīn. Setelah Mu’āwiyyah diangkat menjadi khalifah, sistem
pemerintahannya berubah menjadi monarchiheridetis (Kerajaan turu temurun).
Mu’āwiyyah bin Abī Sufyān adalah pendiri Dinasti Umayyah
yang berasal dari suku Quraish keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah
pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Mu’āwiyyah bin Abi Harb bin
Umayyah bin ‘Abdi Syam bin Manaf. Mu’āwiyyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muḥammad
Ṣalallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan dakwah Islam di kota Makkah, ia beriman dalam
usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi Ṣalallahu
‘alai wasallam ke
Yastrib. Disamping itu
termasuk salah seorang pencatat waḥyu, dan ambil bagian dalam beberapa
peperangan bersama Nabi Ṣalallahu
‘alihi wa sallam.[2]
Kekuasaan
Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Mu’āwiyyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya.
Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Mu’āwiyyah bin Abī Sufyān (661-680 M), ‘Abd al-Malik
bin Marwān (685-705 M), Al-Wālid
bin ‘Abd al-Mālik
(705-715 M), ‘Umār bin ‘Abd al-‘Azīz (717-720 M), dan Hāshim bin ‘Abd al-Mālik
(724-743 M).[3]
Menurut catatan sejarah dinasti Umayyah ini terbagi menjadi dua
periode, yaitu :
1. Dinasti Umayyah I di Damaskus (41 H/661 M-132 H/750
M), dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan mengalami pergantian
pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara khalifah besar dinasti ini
adalah Mu’āwiyyah bin Abī Sufyān (661-680 M), ‘Abd al-Mālik bin
Marwān (685-705 M), Al-Wālid bin ‘Abd al-Mālik (705-715 M), ‘Umār bin ‘Abd al-‘Azīz
(717-720 M), dan Hishām bin ‘Abd al-Mālik (724-743 M). Pada tahun 750 M, dinasti ini digulingkan oleh dinasti
‘Abbāsiyyah.
2. Dinasti Umayyah II di Andalus/Spanyol (755-1031 M),
kerajaan Islam di Spanyol ini didirikan oleh ‘Abd al-Rahmān al-Dākhil. Ketika Spanyol berada di bawah kekuasaan Dinasti
Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai
memperoleh kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa kepemimpinan ‘Abd al-Rahmān al- Ausāṭ,
pendidikan Islam menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini desebabkan
karena sang khalifah sendiri terkenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Ia
mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu
pengetahuan di sana menjadi kian semarak.[4]
Pada Dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur
dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari daerah Islam
di zaman Khulafā ar-Rāshidīn yaitu: Hijāz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir. Seiring dengan
itu pendidikan pada priode Dinasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttāb, Masjid
dan Majelis Sastra. Materi yang
diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tidak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan
dalam berbagai bidang tertentu.[5]
2.2. Lembaga Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah
Pada
masa Dinasti Umayyah
pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya
pendidikan tidak hanya terpusat di Ibu Kota Negara saja tetapi sudah
dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi
teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan
standar umur.[6]
Pola pendidikan Islam pada periode dinasti
Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafā ar-Rāshidīn yang
ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya
Khuttāb serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode dinasti
Umayyah diantaranya adalah:
1. Khuttāb
Khuttāb
atau maktāb berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau
tempat menulis, jadi Khuttāb adalah tempat belajar menulis. Khuttāb merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan
membaca, menghafal Al-Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Sebelum
datangnya Islam kuttāb telah ada di negeri Arab. Sewaktu agama Islam diturunkan
Allah ta’āla, sudah ada diantara para Ṣahabat yang pandai tulis baca.
Kemudian tulis tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam
Islam, sehingga berkembang luas dikalangan umat Islam.
Karena tulis baca semakin terasa
perlu, maka kuttāb sebagai tempat belajar menulis dan membaca terutama bagi
anak-anak berkembang pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam kuttāb
tersebut dilakukan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang diajarkan
adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis atau
dibaca adalah sha’ir-sha’ir yang terkenal pada masanya.[7]
Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah mulai timbul
jenis kuttāb yang disamping memberi pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan membaca Al-Quran dan pokok-pokok
ajaran Agama. Pada mulanya kuttāb jenis ini merupakan pemindahan dari
pengajaran Al-Quran yang berlangsung di masjid dan bersifat umum (bukan saja
bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang dewasa). Anak-anak ikut pengajian
didalamnya, tetapi karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan
masjid, maka diadakan tempat khusus di samping masjid. Selanjutnya berkembanglah
tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttāb-kuttāb
yang bukan hanya mengajarkan Al-Quran, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan
dasar lainnya. Dengan demikian kuttāb berkembang menjadi lembaga pendidikan
dasar yang bersifat formal.
Adapun
cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al-Quran mereka juga belajar menulis dan
tata bahasa serta tulisan. Perhatian
mereka bukan tertumpu mengajarkan Al-Quran
semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka
pada pelajaran sangat pesat. Al-Quran dipakai sebagai bahasa bacaan
untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk
dipelajari. Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari
tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadith dan pokok Agama.[8]
2. Masjid
Semenjak
zaman Nabi Muḥammad Ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia
menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaiakan
penerangan agama, dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik untuk anak-anak
atau orang dewasa. Kemudian pada masa khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan.[9]
Pada
Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan
tingkat tinggi setelah khuttāb. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al-Quran, Tafsir, Hadith dan Fiqih, Juga diajarkan kesusasteraan, sajak,
gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.
Diantara
jasa besar pada periode Dinasti
Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah
termasuk sha’ir,
sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan masjid ke seluruh pelosok daerah Islam.
Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan
penuntut ilmu di seluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Wālid
bin ‘Abd al-Mālik (707-714 M) yang merupakan Universitas terbesar dan
juga didirikan masjid
Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[10]
3.
Majelis Sastra
Majelis sastra adalah suatu majelis khusus yang diadakan
oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu
pengetahuan. Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang
disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan
bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Majelis
ini bermula sejak zaman Khulafa ar-Rāshidīn yang biasanya memberikan fatwa dan
musyawarah serta diskusi dengan para Ṣahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu.
Tempat pertemuan pada masa itu adalah di masjid. Setelah masa khalifah Bani
Umayyah, tempat majelis tersebut dipindah ke istana, dan orang-orang yang
berhak menghadirinya adalah orang-orang tertentu saja yang diundang khalifah.
Dalam majelis sastra tersebut bukan hanya dibahas dan didiskusikan
masalah-masalah kesustraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengetahuan
dan berbagai kesenian.[11]
4.
Pendidikan Istana
Yaitu
pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak
khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan
untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada
sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah.[12]
Timbulnya pendidikan Istana untuk anak-anak para pejabat
adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak
didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Oleh
karena itu, mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberikan pendidikan
kepada anak-anak mereka.
Pendidikan
anak di istana berbeda dengan pendidikan anak di kuttāb pada umumnya. Di istana
orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran
tersebut selaras dengan tujuan yang dikehendaki oleh oranng tuanya. Guru yang
mengajar di istana disebut muaddib, karena
berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan
kepada anak-anak pejabat.[13]
5.
Pendidikan Badiah (padang pasir, dusun
tempat tinggal Baduwi)
Yaitu
tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika
khalifah ‘Abd al-Mālik bin Marwān memprogramkan Arabisasi
maka muncul istilah badiah, yaitu dusun baduwi di padang Sahara mereka masih fasih dan
murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut.[14]Sehingga
banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk mempelajar bahasa Arab
yang fasih lagi murni. Banyak ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya
yang pergi ke badiah dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan
kesustraan Arab yang asli lagi murni. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi
sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai
lembaga pendidikan Islam.[15]
6.
Pendidikan Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku
merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah
dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan
mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian
buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu
pengetahuan.[16]Pemerintah
Dinasti Umayyah mendirikan perpustakaan
yang besar di Cordova pada masa khalifah al-Hakam bin Nāṣir.[17]
7. Rumah Sakit
Pada
zaman kejayaan perkembanagan kebudayaan Islam dalam rangka menyebarkan
kesejahteraan dikalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah sakit oleh
khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah sakit tersebut
bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang sakit, tetapi
mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka
mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau
farmasi. Rumah sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari sekolah
kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit atau di dalam rumah sakit,
sehingga rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.
Cucu Mu’āwiyyah Khalīd bin Yazīdh sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan
sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk
menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa arab. Hal ini menjadi
terjemahan pertama dalam sejarah sehingga al-Wālid bin
‘Abd al-Mālik memberikan perhatian terhadap rumah sakit.[18]
2.3. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI
UMAYYAH
Pada
zaman Bani
Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu : Gerakan Ilmu
Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan
Filsafat, karena ahli agama di akhir Bani Umayyah
mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan
Sejarah, karena ilmui-ilmu agama memerlukan riwayat.
A. GERAKAN ILMU
AGAMA
Gerakan
di dalam bidang ini dapat dipisahkan menjadi beberapa bagian, yaitu :
1. Pusat pendidikan Islam
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan
merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh
ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat
pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: di kota Makkah
dan Madinah (Hijaz), di kota Baṣrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan
Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir).
Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah
sebagai berikut:
a. Madrasah Makkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah sesudah penduduk
Makkah takluk ialah Mu’ādh bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al-Quran dan mana
yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah ‘Abd al-Mālik bin Marwān
‘Abdullah bin Abbās pergi ke Makkah,
lalu mengajar disana di Masjidil Harām. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra.
‘Abdullah bin Abbāslah pembangun
madrasah Makkah yang termasyhur di seluruh negeri Islam.
b. Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam
ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal Ṣahabat-Ṣahabat Nabi Ṣalāllahu
‘alaihi wa sallam. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c. Madrasah Baṣrah: Ulama sahabat yang termasyur di Baṣrah ialah Abu Musā
al-Ash’ari dan Anas bin Mālik. Abu Musā al-Ash’ari adalah ahli fiqih dan ahli
hadīth, serta ahli Al-Quran. Sedangkan Abbās bin Mālik termasyhur dalam ilmu
hadīth. Al-Hasan Baṣry sebagai ahli fiqih, juga ahli pidato dan kisah, ahli
fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada
pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan
kisah-kisah di masjid Baṣrah.
d. Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang
ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswād, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Hāris bin Qais dan
‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan ‘Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama
Kufah, bukan saja belajar kepada ‘Abdullah
bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada
‘Abdullah bin Mas’ud, bahkan mereka
pergi ke Madinah.
e. Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian
negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam
menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam,
yaitu ‘Abdurrahman al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Mālik dan Abu
Hanīfah. Madhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi
kemudian madhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh madhab Syāfi’i dan Māliki.
f. Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi
pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah di Mesir ialah ‘Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadith dengan arti
kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadith-hadith yang
didengarnya dari Nabi Ṣalāllahu ‘alaihi wa sallam, melainkan juga
dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf
meriwayatkan hadith-hadith itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak
sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadith-hadith dari padanya.
Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada
seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota
yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar
Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian
kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan
tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.[19]
2. Materi bidang ilmu pengetahuan.
Materi atau ilmu-ilmu agama yang berkembang pada zaman
ini dapat dimasukan dalam kelompok Al-Ulumul Islāmiyyah yaitu ilmu-ilmu
Al-Quran, Al-Hadith, Al-Fiqih, At-Tarīkh, Al-Ulumul Lisaniyyah dan Al-Jughrofi.
Sedangkan Al-Ulumul Islamiyah dapat dibagi menjadi tiga bagian : Al-Ulumul
Syar'iyah, yaitu ilmu-ilmu agama Islam; Al-Ulumul Lisaniyyah, yaitu ilmu-ilmu
untuk memastikan bacaan Al-Quran, menafsirkan dan memahami Hadith; At-Tarīkh
wal Jughrofi.
a. Ilmu Qiraāt,
yaitu ilmu cara membaca Al-Quran. Orang yang pandai membaca Al-Quran disebut
Qurrā. Pada zaman ini pula yang memunculkan tujuh macam bacaan Al-Quran yang
terkenal dengan " Qiraat Tujuh " yang kemudian ditetapkan menjadi
dasar bacaan (Ushulul Lil Qira'ah). Pelopor bacaan ini terdiri dari kaum Malawy
yaitu antara lain : ‘Abdullah bin Kathir, ‘Ashim
bin Abu Nujud, ‘Abdullah bin Amir, ‘Ali bin Hamzah
dan lain-lain.
b. Ilmu Tafsir,
ilmu yang berusaha untuk memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran
dengan tujuan untuk menghasilkan hukum dan undang-undang. Ahli tafsir yang
pertama yaitu Ibnu Abbās, seorang Ṣahabat terkenal yang wafat pada tahun 68 H. Menurut
riwayat yang mutawatir beliau adalah orang yang pertama menafsirkan Al-Quran
dengan cara riwayat dan isnad. Ahli tafsir lainnya adalah Mujāhid yang wafat
pada tahun 109 H dan ulama Syi'ah yaitu Muḥammad al-Baqir
bin ‘Ali
bin Husain.
c. Ilmu Hadith,
Untuk membantu di dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.
Karena terdapat banyak hadith maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan
sanad yang hadith yang akhirnya menjadi Ilmu Hadith dengan segala
cabang-cabangnya. Para ahli hadith yang terkenal pada zaman ini adalah:
Abu Bakar bin Muḥammad bin ‘Ubaidillah bin Zihab az-Zuhri (123 H). Ibnu Abi
Malikiyyah, yaitu ‘Abdullah bin Abi Malikiyyah (119 H). Pada masa khalifah
‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz barulah hadith dibukukan yang dirintis oleh Ibnu Zihab
az-Zuhri yang kemudian disusul oleh ulama lain.
d. Ilmu Nahwu, yaitu ilmu tentang perubahan bunyi pada kata-kata yang
terdapat di dalam Al-Quran. Pengarang ilmu nahwu yang pertama dan membukukannya
seperti halnya sekarang, yaitu Abu Aswad ad-Dualy (W. 69 H). Beliau belajar
dari ‘Ali bin Abi Ṭālib sehingga ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa ‘Ali
bin Abi Ṭālib adalah Bapak Ilmu Nahwu.
e. Ilmu Jughrofi. Tentang ilmu jughrofi sekalipun bukan berasal dari bangsa
arab, namun bangsa Arab muslim telah membuat ilmu ini menjadi satu ilmu yang
tersendiri oleh karena tiga sebab: Al-Haj yang menjadi salah satu rukun Islam.
Untuk menunaikan rukun haji kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia harus
mengetahui ilmu bumi; Al-Ilmu, kewajiban menuntut ilmu bagi kaum muslimin,
mengharuskan mereka melakukan Rihlah Ilmiyah untuk menuntut ilmu, hal
mana mengharuskan kaum muslimin mengetahui ilmu bumi; Dakwah, keharusan
berdakwah dan berjihad untuk mengembangkan Islam, juga mengharuskan kaum
muslimin mengetahui ilmu bumi. Tiga sebab ini disamping sebab-sebab lain yang
mendorong orang Yunani lama untuk membuat ilmu bumi yaitu kepentingan dagang
dan perang. Ilmu
Jughrofi dalam masa Bani Umayyah baru dalam taraf
merintis jalan.[20]
Sedangkan ilmu-ilmu yang di salin dari bahasa Asing ke
dalam bahasa Arab dan di sempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam
dikelompokan dalam Al-Ulumud Dākhilah yang terdiri dari :
a.
Ilmu Kima. Khalifah Yazīdh bin Yazīdh bin Mu’āwiyyah adalah yang menyuruh
penerjemahannya ke dalam bahsa Arab. Beliau mendatangkan beberapa orang
Romawi yang bermukim di Mesir, di antaranya Maryanis seorang pendeta yang
mengajarkan ilmu kimia. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh
Isthafun.
b.
Ilmu Bintang. Masih dalam masa Khālid
bin Walīd, beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang
untuk mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi
ke medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
c.
Ilmu Kedokteran. Penduduk Syam di
jaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab seperti
ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karanganm Qis Ahrun dalam bahasa Suryani yang
disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.[21]
B. GERAKAN
FILSAFAT
Gerakan
filsafat muncul di akhir zaman Bani Umayyah
untuk melawan pemikiran Yahudi dan Nasrani. Pemikiran teologis dari agama
Kristen sudah berkembang lebih dulu sebelum datangnya Islam dan masuk ke
lingkungan Islam secara sengaja untuk merusak akidah Islam. Karena itu timbul
dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis untuk menolak ajaran-ajaran teologis
dari agama Kristen yang kemudian disebut Ilmu Kalam.
Ilmu
kalam dalam perkembangannya menjadi ilmu khusus yang membahas tentang berbagai
macam pola pemikiran yang berbeda dari ajaran Islam sendiri, karena dalam
Al-Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir,
menggunakan akal dan sebagainya yang kesemuanya mendorong umat Islam, terutama
para ahlinya untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran
dan kebijaksnaan.
C. GERAKAN
SEJARAH
Pada
zaman Bani
Umayyah gerakan sejarah menghasilkan tarīkh yang
terbagi dalam dua bidang besar :
a.
Tarīkh Islam, yaitu tarīkh kaum
muslimin dengan segala perjuangannya, riwayat hidup
pemimpin-pemimpin mereka. Sumber tarīkh dalam bidang ini adalah dari amal
perbuatan mereka sendiri.
b.
Tarīkh umum, yaitu tarikh
bangsa-bangsa lain yang dipelajari dan disalin dengan sungguh-sungguh sejak
zaman Bani
Umayyah. Hal ini karena khalifah mereka
termasuk orang-orang yang paling gemar untuk mengetahui orang-orang ternama
dari tarīkh bangsa lain.[22]
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah
gambaran umum tentang pola pendidikan Islam pada masa Bani Umayyah. Walaupun kecenderungan
politik pemerintahan pada saat itu cenderung kepada perluasan wilayah Islam,
namun Pemerintah masih menaruh perhatian dalam bidang pendidikan dan memberikan
dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan
prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuan, para seniman, dan para ulama mau
melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi
ilmu. Pada masa Bani
Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi artinya pendidikan tidak
hanya terpusat di Ibu Kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom
di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.
Sistem
pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur. Pola
pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila
dibandingkan pada masa Khulafā ar-Rāshidīn yang ditandai dengan semaraknya
kegiatan ilmiah. Dengan
penekanan ini didiajarkan beberapa macam ilmu Agama dan ilmu-ilmu lainnya.
Diantara
bentuk dan lembaga pendidikan pada masa Bani Umayyah adalah: Kuttab, Masjid, Majelis Sastra, Pendidikan Istana,
Pendidikan Badiah, Pendidikan Perpustakaan, Rumah Sakit.
Pada
zaman Bani
Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu : Gerakan Ilmu
Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan
Filsafat, karena ahli agama di akhir Bani Umayyah
mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan
Sejarah, karena ilmui-ilmu agama memerlukan riwayat.
DAFTAR PUSTAKA
Aqi Suro, “Pendidikan Islam Pada Masa BaniUmayyah” dalam http://Pendidikan%20Islam%20%C2%AB%20Aqi%20Blog.html, (diakses
09-11-11).
Badri,
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet. 22, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980).
Lukman hakim, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Masa
Bani Umayyah” dalam http//pai_bani_umayyah.html., (diakses 09-11-11).
Ran
in World, “Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam
http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.htlm., (diakses
23-09-11).
Silsīlah
Ta’līmi al-Lughoh al -‘Arobiyyah
al-Mustawa ar-Rōbi’
ṣṵroh min at-Tarīkh al-Islamī,( Riyad:
1994).
Zuhairini,
Sejarah Pendidikan Islam, cet.9, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2008).
[2]Silsīlah Ta’līmi al-Lughoh al -‘Arobiyyah al-Mustawa ar-Rōbi’ ṣṵroh min at-Tarīkh al-Islamī, hlm. 136-137.
[5]Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, (Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 17.
[6]Ran in World, “Pendidikan
Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam
http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.htlm., (diakses
23-09-11).
[12]Ran in World, “Pendidikan
Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam
http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.htlm., (23-09-11).
[14]Ran in World, “Pendidikan
Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam
http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.html., (23-09-11).
[16] Ibid, hlm. 98.
[17]Ran in World, “Pendidikan
Islam Masa Bani Umayyah (Filsafat Pend. Islam)” dalam
http//pendidikan-islam-masa-bani-umayyah.html., (23-09-11).
[18] Ibid, hlm. 98.
[19]Aqi Suro, “Pendidikan Islam Pada Masa BaniUmayyah” dalam http://Pendidikan%20Islam%20%C2%AB%20Aqi%20Blog.html, (diakses 09-11-11)
[20] Ibid,
[21] Ibid,
[22]Lukman
hakim, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Umayyah” dalam
http//pai_bani_umayyah.html.,
(diakses 09-11-11)
syukron ya atas postingannya....bermanfaat bngat
BalasHapus